Taat Tanpa Tapi
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنَّا الْحَزَنَ إِنَّ رَبَّنَا لَغَفُورٌ شَكُورٌ. أَشْهَدُ أَنَّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحِسَانِ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Dalam Islam, kehidupan manusia merupakan perjalanan kehidupan yang mulia, tidak seperti makhluk lain layaknya, hewan dan tumbuh-tumbuhan yang kehidupannya hanya untuk makan, minum dan berkembang biak. Manusia dituntut oleh Allah I untuk menjadikan kehidupannya, sebagai sarana ketaatan dan ketundukan pada perintah-perintah Alllah I. Sebagaimana yang Allah I firmankan,
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ
“tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat : 56)
Tugas mulia untuk beribadah kepada Allah I, berlaku sepanjang hidup, selama manusia masih mempunyai akal sehat, sejak dia baligh sampai meninggal dunia tugas ketaatan tersebut harus terus dilaksanakan.
Ketika Allah I memerintahkan manusia untuk taat beribadah, hal tersebut bukanlah karena Allah I membutuhkan ibadah dari manusia, namun justru manusialah yang membutuhkan hal tersebut. Dalam hadits qudsi Allah I berfirman,
يَاعِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِي مُلْكِي شَيْئًا
Wahai hamba-hamba-Ku! Jika kamu sekalian yang awal hingga yang akhir, baik dari bangsa manusia maupun dari bangsa jin, bertakwa seperti orang yang paling bertakwa di antara kamu sekalian, maka hal itu tidak akan menambah sedikit pun pada kekuasaan-Ku (HR Muslim)
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Hadits tersebut memuat pesan bahwa ibadah pada intinya adalah bukan kepentingan Allah I, namun kepentingan manusia untuk menyelamatkan dirinya dikehidupan Akhirat.
Sebagian orang merasa perintah taat, adalah beban yang memberatkan kehidupan. Padahal ketaatan merupakan manifestasi dari rasa syukur, dan terimakasih kita kepada Allah I atas banyaknya nikmat yang telah diberikan. Perlu difahami bahwa kenikmatan yang telah diberikan kepada manusia jauh lebih banyak dari pada beban ketaatan yang diberikan oleh Allah I,
وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَا ۗ…….
“dan jika kamu menghitung nikmat Allah, maka kamu tidak bisa menghitungnya”. (an Nahl : 18)
Ritual ketaatan yang Allah I berikan kepada kita, bisa dihitung dan sangat mungkin untuk dikerjakan. Sedangkan nikmat yang telah Allah I berikan kepada manusia, begitu sangat banyak bahkan tidak berbilang. Sehingga tidaklah menjadi beban ketika manusia diwajibkan untuk taat yang berbilang, dengan fasilitas nikmat yang tidak berbilang. Hal inilah yang menjadi landasan manusia untuk taat tanpa tapi, tidak ada alasan lagi beban ibadah terasa berat, atau menganggap ketaatan sebagai perkara yang mengganggu produktivitas keduniaannya.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Jika kita perhatikan, tujuan Allah I memerintahkan manusia untuk taat sebenarnya adalah untuk kepentingan manusia sendiri. Manusia yang lalai untuk taat dalam kehidupannya lalu tiba-tiba meninggal dunia, dia akan mendapatkan kecelakaan dan keburukan selama-lamanya di akhirat. Maksud Allah I dalam perintah taat adalah agar manusia berhati-hati dalam menjalani kehidupannya. Bahkan Allah I mengulang-ulang perintah taat di dalam al-Qur’an lebih dari 6 kali. Hal tersebut menunjukkan bahwa perintah taat adalah perkara yang sangat penting.
Manusia harus mempunyai kesadaran bahwa kehidupannya adalah mutlak untuk taat kepada Allah I, Allah I berfirman
اٰمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِ مِنْ رَّبِّهٖ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ كُلٌّ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَمَلٰۤىِٕكَتِهٖ وَكُتُبِهٖ وَرُسُلِهٖۗ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْ رُّسُلِهٖ ۗ وَقَالُوْا سَمِعْنَا وَاَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَاِلَيْكَ الْمَصِيْرُ
“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) darirasul-rasul-Nya’, dan mereka mengatakan: ‘Kami dengar dan kami taat.’ (Mereka berdoa): ‘Ampunilah kami yaTuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.’” (QS. Al-Baqarah : 285)
Imam Ibnu Katsir r di kitab tafsirnya, beliau menjelaskan bahwa makna sami’naa waatha’naa (kami dengar dan kami taat) adalah ‘kami mendengar firman-Mu wahai Tuhan kami, kami memahaminya, mendirikannya dan menyesuaikan perbuatan kami dengan ketetapan firman-Mu tersebut.
Selain itu, ketaatan merupakan konsekuensi keimanan seseorang. Iman yang benar menuntut manusia untuk yakin, bahwa seluruh amal perbuatannya akan dihisab oleh Allah I. Jika amalnya baik maka akan mendapatkan pahala, dan jika amalnya buruk maka akan mendapatkan dosa dan siksa di Akhirat.
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ . وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
“Barangsiapa beramal kebaikan sebesar zarrah maka dia akan melihatnya, dan barangsiapa beramal keburukan sebesar zarrah dia juga akan melihatnya” (QS. Az-Zalzalah : 7)
Ayat ini menjelaskan tentang adanya hisab di akhirat, bahwa seluruh amal perbuatan, baik maupun buruk akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah I. Maka orang yang beruntung adalah yang amal kehidupannya penuh dengan ketaatan, dan sebaliknya, orang yang celaka adalah orang yang lalai dan minim amal ketaatan kepada Allah I.
Oleh: Ustadz Firdaus Arifullah, S.Pdi., M.H.
Naskah Lengkap bisa di download disini
Silakan gabung Group WhatsApp